Surabaya – Transformasi menuju ekonomi hijau di Indonesia semakin menunjukkan arah yang jelas pada 2025. Sejumlah indikator utama memperlihatkan kemajuan signifikan dalam upaya pemerintah dan dunia usaha menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan keberlanjutan lingkungan. Namun, di balik optimisme tersebut, implementasi kebijakan masih menghadapi tantangan struktural yang perlu segera dibenahi agar tidak menghambat momentum transisi hijau.
Investasi Hijau Meningkat Signifikan
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas melaporkan bahwa komitmen investasi hijau Indonesia mencapai US$17,6 miliar (setara Rp278 triliun) pada ajang Indonesia International Sustainability Forum (ISF) 2025. Angka ini mencerminkan peningkatan minat investor global terhadap proyek-proyek berorientasi lingkungan, terutama di sektor energi terbarukan, infrastruktur hijau, dan pengelolaan limbah.
Kepala Bappenas Suharso Monoarfa menegaskan, ekonomi hijau kini bukan lagi sekadar jargon, melainkan pilar utama arah pembangunan nasional.
“Investasi hijau bukan sekadar tren global, tetapi fondasi bagi ketahanan ekonomi jangka panjang Indonesia. Kami menargetkan agar kontribusi sektor hijau terhadap PDB meningkat konsisten dalam dekade mendatang,” ujarnya di Jakarta.
Untuk memantau kemajuan, pemerintah meluncurkan Green Economy Index (GEI) yang mencakup 15 indikator lintas sektor – mulai dari efisiensi energi, emisi karbon, hingga kesejahteraan sosial. GEI diharapkan menjadi instrumen evaluasi berbasis data yang memudahkan pemerintah dalam menilai efektivitas kebijakan hijau di tingkat nasional maupun daerah.
Energi Terbarukan Jadi Fokus Utama
Potensi energi terbarukan Indonesia diperkirakan mencapai sekitar 3.700 gigawatt (GW), terdiri dari tenaga surya, angin, air, arus laut, bioenergi, dan panas bumi. Namun, tingkat pemanfaatannya baru sekitar 1 persen dari total kapasitas yang ada.
Untuk mempercepat pemanfaatan, pemerintah menggulirkan sejumlah proyek strategis, salah satunya pembangkit listrik tenaga surya terapung berkapasitas 92 MW di Jawa Barat yang mulai dibangun Oktober 2025. Proyek tersebut diproyeksikan menekan emisi karbon hingga 104 ribu ton per tahun.
Selain itu, proyek Waste-to-Energy yang diinisiasi oleh Danantara Indonesia akan segera beroperasi akhir tahun ini. Proyek tersebut tidak hanya berfungsi sebagai sumber energi bersih, tetapi juga solusi jangka panjang atas masalah penumpukan sampah perkotaan.
Pemerintah juga tengah memperluas program transisi energi daerah (ETD) yang melibatkan kerja sama antara pemerintah daerah, lembaga internasional, dan pelaku usaha lokal. Program ini diharapkan mempercepat transformasi sistem energi menuju model desentralisasi energi bersih yang lebih efisien dan inklusif.
Regulasi Karbon dan Ekonomi Sirkular
Langkah besar lain yang menarik perhatian dunia internasional adalah dibukanya kembali perdagangan karbon internasional setelah sempat ditangguhkan selama empat tahun. Keputusan ini menempatkan Indonesia pada posisi strategis sebagai pemain utama pasar karbon global, terutama berkat luasnya kawasan hutan tropis yang mampu menyerap karbon secara alami.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bersama Bappenas juga mempercepat penerapan ekonomi sirkular dengan lima sektor prioritas: makanan, elektronik, kemasan plastik, konstruksi, dan tekstil. Model ini diyakini dapat meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya hingga 30 persen serta mengurangi limbah secara signifikan.
Menurut laporan Bappenas, jika ekonomi sirkular diterapkan secara menyeluruh, produk domestik bruto (PDB) Indonesia berpotensi meningkat hingga 6,5 persen per tahun, serta menciptakan lebih dari 4 juta lapangan kerja baru hingga tahun 2030. Model bisnis sirkular juga diharapkan dapat mengubah pola produksi dan konsumsi masyarakat menuju sistem ekonomi yang lebih efisien dan berkelanjutan.
Hambatan Struktural Masih Menonjol
Meski arah kebijakan semakin tegas, sejumlah hambatan mendasar masih menghambat percepatan transformasi hijau. Tantangan terbesar adalah koordinasi lintas kementerian dan daerah yang belum berjalan optimal. Proses perizinan proyek energi baru terbarukan (EBT) dinilai masih rumit dan berlapis.
Selain itu, akses pembiayaan hijau masih menjadi kendala utama. Banyak proyek hijau yang belum mendapat dukungan penuh dari lembaga keuangan nasional karena dianggap memiliki risiko tinggi dan pengembalian yang panjang. Pemerintah berupaya menjawab tantangan ini dengan mendorong pengembangan green bond, tax incentives, dan skema blended finance agar proyek ramah lingkungan semakin menarik bagi investor.
Lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga tengah memperkuat Taksonomi Hijau Indonesia versi 2.0 untuk memperjelas klasifikasi kegiatan ekonomi yang dinilai ramah lingkungan. Langkah ini diharapkan dapat memberi kepastian regulasi bagi pelaku pasar keuangan dalam menyalurkan dana ke sektor-sektor hijau.
Aspek Sosial dan Keadilan Transisi
Seiring percepatan transisi hijau, sejumlah pakar mengingatkan pentingnya aspek sosial dan keadilan ekonomi dalam setiap kebijakan. Perubahan seperti pengenaan pajak karbon atau pengurangan subsidi energi fosil berpotensi berdampak langsung pada masyarakat berpendapatan rendah.
“Transisi energi harus disertai keadilan sosial. Tanpa itu, kebijakan hijau berisiko menimbulkan resistensi dan memperlambat penerimaan publik terhadap perubahan,” ujar Dr. Rani Wibisono, pakar ekonomi lingkungan dari Universitas Indonesia.
Pemerintah pun mulai mengintegrasikan pendekatan Just Energy Transition (JET) dengan memperhatikan dampak sosial, penciptaan lapangan kerja baru, serta pelatihan ulang (reskilling) bagi pekerja di sektor energi fosil. Pendekatan ini menekankan bahwa keberlanjutan tidak hanya soal lingkungan, tetapi juga keadilan ekonomi bagi seluruh lapisan masyarakat.
Kolaborasi Daerah dan Dunia Usaha
Peran pemerintah daerah dan dunia usaha juga semakin penting dalam memperkuat ekosistem hijau. Sejumlah provinsi, seperti Jawa Tengah, Bali, dan Kalimantan Timur, telah mengembangkan rencana aksi daerah rendah karbon (RAD-GRK) dan mendorong investasi energi terbarukan lokal. Sementara itu, sektor swasta mulai beralih ke produksi rendah emisi dan mengadopsi prinsip ESG (Environmental, Social, Governance) dalam strategi bisnis mereka.
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menilai tren ESG menjadi penentu daya saing ekspor di masa depan, mengingat banyak negara tujuan ekspor kini menerapkan kebijakan karbon perbatasan (carbon border adjustment) yang membatasi produk tinggi emisi.
Prospek ke Depan: Indonesia Menuju Ekonomi Hijau Berdaya Saing
Dengan arah kebijakan yang semakin jelas, dukungan investasi yang meningkat, dan kesadaran publik yang tumbuh, Indonesia berada pada jalur positif menuju ekonomi hijau. Proyek-proyek besar di sektor energi bersih, pengelolaan limbah, dan ekonomi sirkular menjadi fondasi awal transformasi ekonomi nasional menuju keberlanjutan.
Namun, keberhasilan agenda ini sangat bergantung pada konsistensi kebijakan, sinergi antar lembaga, dan kemampuan menjaga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, stabilitas sosial, serta kelestarian lingkungan. Jika dijalankan secara konsisten, ekonomi hijau bukan hanya alat menjaga bumi, tetapi juga mesin pertumbuhan baru yang mampu memperkuat posisi Indonesia dalam peta ekonomi global berkelanjutan.